Suara
gemuruh angin besar mengiringi langkahku. Kibasan pakaianku terlihat gemulai,
dedaunan kecil dibatang kayu melambai bak angin melawan kain. Malam ini sungguh
sepi, mungkin banyak yang beranggapan sudah waktunya tidur malam.
Sedang
ku menonton candaan supir truk, mereka bahkan sepertinya mulai lelah. Malam ini
aku sedang di pelabuhan. Menunggu yang tak lama dan mungkin waktu yang berjalan
kisaran dua puluh menit, kapal yang nantinya akan mengangkutku.
Madura
memang indah, cukup gersang namun malam ini terasa sejuk sekali. Ku duduk
dibantaran besi hanya sekedar untuk menunggu, ku tatap wajah hitam pekat langit
yang terpampang suram diatas kepalaku. Memang ini sudah cukup larut, tak
asinglah bagiku melihat rupa langit malam. Aku yang sering begadang malam dan
hampir pernah tidak memejamkan mata semalaman. Alhasil yang ku harapkan telah
menguatkan harapan, yang sedang ku tunggu sudah datang.
Ku
pijakkan kaki kanan ku terlebih dahulu dengan bibir yang membentuk manisnya
senyuman. Ah aku tak sabar, satu demi satu ku langkahkan kaki ku. Tangga ini
sangat pendek, ku rasa sudah sepuluh pijakan pijakan kaki ku mellangkah dan
sampailah aku dimana berjejer dengan barisan kursi besi namun padat dan cukup
kuat. Barisan kursi yang sudah berpenghuni dan kosong. Ingin ku mencari posisi
yang pas. Tak berfikir lama aku menaruh tas ransel hitam yang cukup berat,
isinya sepasang pakaian, satu kerudung, dan obat-obatan wasiat ibu. Baru
kemarin sempat berkomunikasi namun jujur, aku merindukan mereka. Ibu selalu
memberi ku obat untuk mengantisipasi agar aku tidak mual pada saat perjalanan
di dalam kendaraan umum. Aku juga membawa buku, satu pena bertinta hitam,
perlengkapan mandi (pasta gigi, sikat, sabun cair, parfum, deodoran dan bedak) Ku
letakkan tasku di kursi berwarna seperti buah jeruk yang cukup menyegarkan.
***********
Bel
atau entah apalah penanda kapal yang akan bersiap dan mengantarku. Aku duduk
dengan memasukkan tangan ke dalam saku jaket yang cukup tebal. Lautan yang ku
lewati menarik hatiku, gemercik air laut saat terlintasi kapal terdengar riuh.
Sepertinya kapal yang ku tumpangi mengingatkan ku dengan film barat TITANIC. Titanic adalah sebuah film epik, roman dan bencana Amerika Serikat
(AS), di produksi tahun 1997.
Menuju
pucuk kapal kaki ku melangkah, hembusan angin terasa amat keras. Telingaku
terasa berisik mendengar derasnya bunyi air dibawah kapal. Aku termangun cukup
lama, dengan duduk di batang besi penghubung pucuk dan awak kapal dan melihat pemandangan
yang menakjubkan ada didepan mataku. Warna warni lampu yang menyala hiasi
gelapnya malam. Sekelibasan baru saja, ku rasa ada sesuatu yang lewat, warna
hitam dan terbang. Sontak ku berfikir kalau itu kelelawar, wajar saja ada
kelelawar, malam ini cukup larut. Kapal masih berjalan diatas air. Lautan lepas
yang menghubungkan madura dengan surabaya, tidak heran. Jembatan panjang dan
modern di samping kiri ku saat ini namun berjarak cukup jauh dengan ku bernama
jembatan suramadu.
Mungkin
lima menit lagi kapal menyandarkan awakan nya di Surabaya (seberang Madura). Bel
kapal bersautan menyapa kapal satu dengan yang lain dan membuat telingaku cukup
terganggu. Layaknya tahun baru yang setiap kali meniup terompet dan bersautan
satu dengan yang lain.
Aku
berinisiatif kembali duduk, ku lihat wajah orang-orang yang sudah siap untuk
turun dan membawa barang bawaan nya dengan kedua tangan, ada juga yang hanya
dengan tas mini kecil atau tas ransel cukup besar, sepertinya berat. Tidak lama
kemudian, memang benar, kapalnya sudah berhenti. Sampailah aku pada tempat
tujuan pertama. Cukup melegakan karena ku sampai tujuan dengan keadaan selamat.
Kapal sudah tak terlihat lajunya, aku bersiap-siap begitu juga
orang-orang
disekitaku yang sebelumnya sudah bersiap lebih awal. Berbondong-bondong keluar
dari kapal, menentengi barang bawaan begitu juga tas ransel yang siap ku pakai,
tapakkan kakiku siap melaju di tanah Surabaya.
Aku
tiba di perak, ada pelabuhan dan terminal yang berdekatan disini. Ku berjalan
sekitar sepuluh menit kurang lebih dan duduk di bebatuan pinggir jalan berniat
mencari bus Trans tujuan bungurasih. Menghembuskan nafas dan meletakkan kaki ku
lurus di pinggir jalanan terminal. Cukup lama aku menunggu, dimana memang
banyak sekali bis yang terparkir disana, namun aku mencari kendaraan yang
bertarif murah, nah bis Trans jawabnya. Pilihan bis yang sangat tepat, selain
tarifnya yang murah dan lagi fasilitasnya yang ku sukai. Tidak membuat ku mual,
ber-AC, tempat duduk nyaman, luas
dan cepat.
Lampu
jalanan seolah berkedip dengan datangnya malam, bukan hanya warna jingga, putih
dan warna-warna lainnya yang ku lihat di sekitarku. Aku melihatnya, bis yang ku
tunggu sudah datang. Dengan warna biru cerah dan bergambar paparan kota-kota
besar atau sejenis bangunan tinggi. Aku naik didalamnya. Terpikir mungkin
sejamlah aku sampai di bungur, ku peluk erat tas ranselku yang berat, ku pangku
dan aku tidur dengan memberi pesan kepada kernet bis, “saya turun bungurasih
pak”.
Sebelumnya
waktu malam namun tak semalam sekarang aku pernah naik bis Trans, begitu cantik
ku memandang kemerlip lampu di jalan dengan tambahan lampu rumah dan kios-kios
yang berjejeran rapi disana. Bahkan lagi lampu merah dengan tiga lampu yang
secara bergantian menyala. Merah, kuning, dan hijau. Bak lagu anak-anak
Balonku.
Balonku
ada lima
Rupa-rupa
warnanya
Hijau kuning
kelabu
Merah muda
dan biru
Meletus
balon hijau. DORR!
............
Tubuhku
sepertinya meriang, mungkin karena baru tadi siang aku makan, dan sekarang
perut mulaisedikit kosong. Apalagi dengan dinginnya AC didalam bis yang membuat
bulu kudukku berdiri. seakan dingin nya meresap kedalam pori-pori kulitku. Aku
duduk di kursi nomor dua dari yang terdepan. Ku menarik resleting tas ranselku
dan mengambil jaket merah muda bergambar lucu dengan hiasan goresan SMILE dan
topi berkuping. Ku pakai jaketnya dan ku masukkan tanganku kedalamnya hingga
tak terlihat satu jaripun.
Isi
bis menampung berbagai macam penumpang, ada yang tua dewasa namun tak lagi ada
anak-anak. Bis berjalan sudah cukup lama, sebentar lagi aku sampai di
Bungurasih. Tidak terlalu lama aku bergumam “apakah masih lama?” bis Trans
sudah berhenti di terminal bungurasih.
Aku
segera turun dan melewati jalan yang penuh debu, kibasan angin, lambaian pohon
dan dedaunan hijau yang sengaja menyapa. Dengan tarif enam ribu rupiah aku
sampai disini. Tak begitu ramai, namun lebih banyak orang daripada terminal
perak tadi.
Nampaknya
ada yang berbeda dengan temapat ini, sepertinya baru saja ada pembangunan dan
terlihat megah terminal yang sedang ku pandangi bangunannya saat ini. Aku
sering sekali mampir di terminal Bungurasih ini, untuk pulang kampung, aku ini
anak rantau di pulau
orang
aku sedang menimbah ilmu dan harus jauh lama dengan orang tua.
Aku
bersyukur bisa melanjutkan pendidikan meski keadaan ekonomi di keluarga ku
tidak meyakinkan untuk aku berkuliah. Yang adil memang adil, beasiswa
mengantarkan ku menuju impian ku.
Di
terminal bungurasih ku mencari seniorku di sebuah warung yang dulu sempat kita
berkumpul disana. Sesampainya diwarung, aku makan nasi goreng yang cukup
mengeyangkan dengan susu putih panas, teh yang hampir tak hangat lagi, dan kopi
hitam panas agar mengutrangi rasa kantukku.
Beginilah
mencari ilmu, dimana liburan panjang di isi dengan liburan namun bermanfaat,
mendidik, menyadarkan dan banyak lagi hal positif lainnya. Liburan kali ini aku
pergi ke kota istimewanya negara Indonesia Yogyakarta.
Dengan
dibekali uang saku yang cukup miris namun ku berniat agar cukup buatku hidup
disana selama sepuluh hari, seratus ribu rupiah per-anak. Waktu menunjukkan
pukul 23:00 WIB. Aku berjalan menuju daerah Medaeng, ku kira uang tidak akan
cukup jika naik bis atau kendaraan umum menuju jogja dan pada akhirnya aku dan
rekan-rekan ku mencari kendaraan menuju jogja dengan cara Nggandol. Seperti anak-anak bonek dan jalanan namun sepertinya
seru.
Kendaraan
pertama kami dapatkan di lampu merah perempatan Medaeng, disana banyak sekali
kendaraan besar yang sengaja lewat. Dominan truk yang mengangkut barang dan
juga bis kota, namun kali ini tumpangan pertama kami adalah mobil pick up, orang jawa bilang kol bak, atau
pikep.
Aku
naik dengan gaya yang entah bagaimana jadinya dan kol bak pun melaju dengan
sangat cepat. Angin sepoy-sepoy berhembus kearah ku, aku tak begitu tahu arah pick up kemana dan menuju manakah. Yang
ku
tahu hanyalah angin yang berhembus sangatlah cepat dan berhembus dengan
derasnya. Namun tak berlalu lama pick up
berhenti, aku tak tahu ini daerah mana. Tapi yang ku tahu aku sedang berhenti
didaerah pasar, pasar yang begitu amat sepi. Wajar saja, karena mungkin jam
sudah menunjukkan pukul menuju dini hari.
Setelah
turun dan mengucapkan banyak terimakasih atas tumpangan gratis kami mencari
tumpangan lagi dan segera mencari keberadaan lampu merah dekat lokasiku saat
ini. Tak berselang beberapa lama meski harus menunggu di trotoar namun kamipun
mendapatkan tumpangan kembali, sayangnya yang ini sepertinya cukup ekstrim
karena bukan pick up lagi melainkan
truk. Bagaimana lagi? aku harus bisa manjat meskipun tangan yang pernah terluka
waktu ku kecil harus kuat memopang tubuhku untuk memegang erat bagian awakan
truk agar aku bisa memanjatnya. Katanya si supir “turun Nganjuk le” jawab salah
satu seniorku “enggeh pak”. Lumayan juga bisa beristirahat cukup lama didalam
kotak yang sudah tak bersih lagi entah itu bekas urukan pasir atau apalah.
Banyak sisa tanah dan pasir didalamnya.
Aku
merebahkan tubuhku didaratan truk, bahkan aku tidak peduli jika truk itu kotor.
Nikmat sekali melepas beban dengan beristirahat, ku pun tertidur dengan
kencangnya hembusan angin malam yang lebih dingin dari yang ku perkirakan.
Truk
terus melaju...................
Malam
berganti pagi dengan datangnya mentari yang menandai sorotan cahaya nya ke
tubuhku yang dingin sebab angin kemarin malam. Tak disangka truk yang ku
tumpangi tidak hanya turun di Nganjuk namun di Ngawi. Syukurlah supir berbaik
hati antarkan kami semua sampai Ngawi. Bergegaslah kami semua turun dan mencari
tempat seraya beristirahat. Nah waktu itu kebetulan ada truk merah tua berhenti
didepan bengkel sepi didaerah Ngawi.
“Janganlah
duduk ndah nanti tidur lagi kau”, ujarku.
Aku
dan kawan-kawan berinisiatif untuk berlatih naik turun truk, apa salahnya
belajar? sengaja mengualng-ulang seperti sedang tutorial. Berhenti sejenak dan
menghembuskan nafas setelah ku mengakhiri latihanku, sudah cukup bisa lah bagi
ku. Perutku terasa kerocongan, dengan sarapan sedikir roti dan minum air cukup
mengganjal rasa laperku. Terik panas matahari sudah terasa, sudah waktunya kami
mencari tumpangan kembali. Pas diseberang kanan jalan adalah lapumerah. Ku
duduk disitu dengan kawan-kawan. Berharap ada yang memberikan tumpangannya
untuk kita.
Cukup
lama menunggu karena penolakan dan banyak truk yang mengangkut barang, tetap
semangat dan pada akhirnya ada yang mau kita tumpangi. Al hasil kata si supir
sampai pada wilayah Prambanan. Entah kenapa kami semua suka tidur dilam box
truk yang sangat oanas karena bertemu langsung dengan sinar matahari. Hari
hampir sore dan kami kembali beristirahat dan tertidur lagi.
Tak
tahu bagaimana bentuk pemandangan, aku sampai di Prambanan . Yang sebelumnya
sempat berhenti dan lagi mencari tumpangan truk lagi, seingat ku didaerah
surakarta dan lampu merah sekitarnya. Sampai di Prambanan mungkin sudah pukul
22:00 WIB. Turun di terminal dan rasanya aku sangat lapar sekali, membeli
makanan di terminal memang mahal tapi tak apalah yang penting perut kosongku
terisi.
Sehabis
makan kami melanjutkan untuk bersih diri hanya sekadar mencuci muka dan tidur
lagi karena sudah malam dan besok harus siap ke Yogyakarta kota untuk
melaksanakan tugas.
Pukul
04:00 menuju 05:00 kami bersiap-siap untuk mencari tumpangan kembali. Namun
tidak dengan aksi nggandol-nggandol lagi tapi naik bis Trans Jogja di singkat
TJ.
Cukup
indah pemandangan kota ayu Yogyakarta. terlihat bangunan candi Prambanan dan
tarif TJ yang sangat murah. Hanya dengan Rp.3500 bisa keliling Yogyakarta.
Turunlah
kami semua di halte Malioboro. Ada tiga Malioboro disana. Misi pertama adalah
Keraton. Keraton terlihat anggun dan sangat menakjubkan, tidak pernah sepi
sepertinya. Hampir sampai sore tugas Keraton terselesaikan, dimana sultan tak
ada ditempat. Hanya bertemu abdi dhalem dan melihat-lihat pemandangan klasik
tempat bersejarah itu.
Keraton clear.
Setelah
itu di sore yang ditemani warna langit jingga itu kami menuju taman di
Malioboro tiga, tidak sia-sia kami mendapatkan keterangan Malioboro melalui
pedagang asongan. Dengan menwarkan dagangan nya kepada kami tapi kami tak
menggubris apa yang sedang pedagang itu tawarkan. “es mbak, es mas!”.
Malioboro clear.
Kami
berkeliling dan mencari makan, karena malam sudah tiba. Langit sudah mulai
gelap namun kerlap-kerlip lampu jalanan di sekitaran Malioboro 1-2-3.
Berjalan
cukup jauh dari sana dan menuju angkringan kami membeli makanan dengan nasi
seharga Rp.2000 dan gorengan. Berhenti di depan halaman rumah orang sampai
akhirnya tertidur pulas karena pagi harinya nanti harus ke pasar Beringharjo.
Tidur
dan bergantian menjaga satu sama lain.
*********
Adzan
subuh sudah berkumandang dan dengan wajah sedikit mengantuk dengan kantung mata
sedikit hitam kami menuju pasar Beringharjo. Mencari informasi mengenai kilas
balik pasar Beringharjo yang bersangkutpaut dengan kesultanan. Apalagi ada pula
yang membantu sebagai tukang panggunl disana.
Pasar Beringharjo clear.
Cukup
puas dengan hasil yang sudah terselesaikan.
Sore
harinya kami semua berkeinginan untuk pergi ke kampung Cyber. Terletak berdampingan dengan lokasi Taman Sari, cukup lama
kami berjalan menuju kesana.
Sungguh
menakjubkan kecanggihan kampung Cyber dimana
masyarakatnya terbilang canggih dan modern. Terpampang papan nama diatas rumah
lurahnya. Ingin menemui lurah disana dan saat itu pak lurah tidak ada di rumah,
ujar warga “pak lurah ada hanya pada
saat kampung Cyber ada acara atau
kegiatan”
Namun
kami mendapatkan info dari remaja cerdas yang aktif dalam menciptakan karya
yang menakjubkan dan mahal. Alhasil kami tau bagaimana kampung Cyber.
Kampung Cyber clear.
Makan
sehari sekali dan terus menerus menyusuri jalan. Namun pada saat keputusan kami
untuk menyelesaikan tugas ke 14 kecamatan kami makan dua kali sehari denga harga Rp. 1500 s/d Rp. 2500. Nasi berlauk
tempe oseng dan sambal teri ditambah sedikit mie dengan gorengan Rp.2000 dapat
tiga.
Setiap
harinya kami menjalankan tugas dengan berjalan kaki, namun bila kesal naik TJ
atau rehat di mushollah.
Kecamatan
perkecamatan kami datangi.
Berhari-hari
sudah berlalu, alhasil kami mendapatkan sepuluh kecamatan. Syukur
alhamdulillah.
10 Kecamatan !
Beranjak
dengan gonta-gantinya dan berpindah pindahnya kami untuk mencari tempat tidur,
di masjid, mushollah, rumah warga, pos ronda, trotoar dan stasiun.
Beristirahatlah
kami di stasiun, harus bangun kurang dari pukul 02:00 WIB. Namun karena terlalu
pulas kami tidur dengan alasan lelah. Menuju pukul 03:00 lebih kami semua
bangun dan pergi ke Pasar Kembang.
Dengan
mata yang sedikit tertutup dan takut, kami berjalan menuju pasar kembang. Namun
sayangnya kami mendapatkan hambatan saat masuk didalamnya. Berbagai ancaman dan
penolakan yang terlontarkan dari mulut warga bahkan pak RT nya langsung yang
menegaskan. Akhirnya, pasar kembang kurang memuaskan.
Dari
perjalanan yag sudah sepuluh hari sebelumnya yang berlalu begitu lambat dan
kadang terasa cepat aku sedikit mengambil makna dari apa yang sudah ku lihat di
pinggir jalanan, atau juga yang berada dekat disekitarku bahwasanya hidup
dengan rasa syukur itu sangatlah penting.
Syukur
atas nikmat yang sudah tertuliskan untuk jalan hidup kita namun dibarengi
dengan usaha dan ikhtiar yang lambat laun akan membawakan hasil yang membuat
kita puas dan berkata Alhamdulillah.
Seperti
kisah nenek tua yang berjualan kacang keliling, usia tua rentan tak membuat
beliau menyerah untuk mencari penghasilan, bahkan mirisnya beliau tidak mempunyai
seorang anak karena alasan belum menikah. Sungngguh kasihan. Tapi ku suka
semangatnya. Dihargai Rp. 5000-per kacang.
Dan
lagi kisah takmir masjid yang sedia kala mengepel, menyapu dan mengelap kaca.
Sangat telaten meski harus di kerjakan sendiri. Teringat juang orang tua ku
yang pekerjaan nya tidak jauh berbeda dengan beliau. Begitu lelah terlihat
wajah tua nya setelah membersihkan area masjid.
Qoutes
Jangan
kau nikmati segala nikmat yang memang benar-benar untukmu, kau bisa saja
serakah dan terus merasa kurang atas bermacam nikmat yang ada.
Tapi
nikmati sebagian nikmat yang memang diturunkan kepadamu, berbagi nikmat kepada
oranglain akan lebih nikmat dari besarnya nikmat yang kau kuasai sendiri.
Bersyukurlah.